Sehari selepas genap usia empat dua, arah perjalanan karierku tiba-tiba berbelok. Kali ini, aku mampir di salah satu kementerian yang bergelut di bidang perumahan.
Sebelumnya, aku berada dalam kondisi yang bisa dibilang "nyaman" di kantor lama—dua puluh tahun sudah kulalui di sana. Namun, tuntutan untuk naik grade ternyata bukan sekadar wacana. Di tengah berbagai peluang yang belum juga membuahkan hasil, datanglah satu momen yang menjadi titik temu antara penantian dan penawaran.
Dan dari situlah prosesi penugasan ke kantor baru dimulai.
Tepat pada tanggal 21 Februari 2025, di aula utama Kementerian PUPR, kami berdiri di hadapan menteri pilihan Presiden Prabowo untuk menjalani prosesi pelantikan. Aku, Kun, dan Saifur—kami bertiga berada dalam satu tim penugasan.
Namun, sebelum prosesi ini benar-benar terlaksana, kedatangan kami—aku dan Kun—masih diselimuti banyak tanya, “YAKIN?”
Dari sisi restu pimpinan, undangan pelantikan ini datang sangat mendadak. Ada kekhawatiran mengenai bagaimana respon beliau. Di sisi lain, soal penghasilan pun menjadi tanda tanya besar. Berapa besar tunjangan yang akan diterima? Belum jelas. Terlebih lagi untuk rekanku—restu dari sang istri pun belum sepenuhnya ia dapatkan. Berbeda dengan kondisiku saat itu.
Di lobi Gedung Djuanda 2 yang berdiri kokoh, kami berdiri menatap ponsel masing-masing, sesekali berseloroh, “Piye ki? Sido, ra?”
Waktu menunjukkan pukul 15.13 WIB. Sayup-sayup suara azan mulai terdengar. Jawaban dari berbagai pertanyaan belum juga mendapatkan cahaya terang. Sempat terlintas untuk mendatangi biro SDM sebagai pengampu penugasan guna menanyakan kepastian soal tunjangan. Tapi niat itu akhirnya kami urungkan.
Dengan langkah yang tidak bisa dibilang pasti, kami memutuskan mendekat ke lokasi pelantikan sambil menunggu restu dari pimpinan.
Rasanya, naik mobil bukan pilihan yang tepat mengingat undangan menunjukkan jam 16.00 WIB. Kami akhirnya memesan ojek online dan berangkat terpisah. Di depan gedung, kami menunggu.
Tit tit tit.
“Maaf Pak, bisa di-cancel, ban kami bocor,” begitu pesan dari aplikasi ojol Kun. Sementara itu, ojolku mulai mendekat. Kami pun berpisah jalan.
Belum sampai setengah perjalanan, hujan turun. Siojol segera mengeluarkan jas hujan 10 ribuan—berharap cukup melindungi dari hujan yang kian deras. Sepatu baruku pun mau tak mau harus diamankan agar tidak masuk angin.
Di perjalanan, beberapa panggilan dan pesan masuk. Ucapan selamat mulai bergulir di grup. Mmmmmm...
Sesampainya di titik temu—masjid kantor—kulihat Kun berdiri terpaku, memandangi ponselnya.
Kupanggil dia. Ia menoleh dengan tatapan kosong, seolah masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.
“Udah diumumkan di grup,” ucapnya pelan.
Sepertinya tidak ada jalan balik, Mas. Bismillah…
Dan dari situlah perjanan di kantor baru dimulai.
Komentar
Posting Komentar