Pajak memang merupakan, dan mungkin akan selalu, menjadi tumpuan utama pemerintah dalam menjaring penerimaan negara. Tercatat dalam satu dekade terakhir, sektor perpajakan tertatih-tatih dalam pencapaian target penerimaan. Terakhir kali target penerimaan perpajakan tercapai pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp658,7 triliun atau sebesar 108,12% dari jumlah yang ditargetkan. Pencapaian target penerimaan perpajakan tahun 2018-pun tercatat sebesar 93,86% dari target yang ditetapkan (LKPP, 2019). Sementara itu, realisasi penerimaan pajak bulan November 2019 dibukukan Rp1.312,40 triliun atau 73,47% dari target APBN tahun 2019 (APBN Kita Kemenkeu, 2019).
Pemerintah-pun
harus memutar otak untuk menyiapkan strategi untuk membantu menopang kesehatan
keuangan negara yang tercermin dalam APBN. Sektor perpajakan yang selama ini
menjadi tulang punggung dalam pembiayaan pemerintahan perlu disokong dari
sumber alternatif lain mengingat ketercapaian target penerimaan pajak sangat
tergantung dari kondisi perekonomian baik di Indonesia maupun perekonomian
global. Hal ini tentu saja merupakan tantangan nyata untuk berkontribusi
membantu peningkatan penerimaan negara.
Menyikapi tantangan
Sebagaimana
semangat yang tertancap dalam logo hari oeang ke 73 “maju bersama menghadapi
tantangan”, maka mundur bukanlah pilihan, kapal terlanjur dibakar, tetap maju
hadapi tantangan adalah sikap yang harus diambil. Kontribusi sekecil apapun
merupakan bukti upaya dan cinta kita terhadap ibu pertiwi. Sudah saatnya dimana
bumi dipijak disitu langit dijunjung, berkecimpung dalam pengelolaan aset negara-pun
dapat ikut turut serta memberikan sumbangsih dalam peningkatan penerimaan
negara. Sejalan dengan hal dimaksud, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa menurut Bank
Dunia, penggunaan aset dapat meningkatkan pendapatan negara 1,5 persen dari
GDP. Barang milik negara yang dikelola maksimal bisa berkontribusi pada
pendapatan negara (Kemenkeu, 2018).
Republik
ini memiliki aset berupa barang milik negara (BMN) yang nilainya mencapai Rp6.400
triliun, yang notabene merupakan salah satu potensi yang masih sangat terbuka
untuk digarap agar memberikan benefit secara ekonomi. Selama ini, tata kelola
aset belum banyak disentuh mengingat masih terdapat aset yang terbengkelai tak
terurus, aset-aset yang bersengketa dan juga penggunaan aset yang belum
digunakan secara optimal, yang justru menggerogoti biaya pemeliharaan. Kewajiban
pengelolaan BMN-pun telah diamanatkan dalam pasal 44 Undang-undang Nomor 1 tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa Pengguna/Kuasa
Pengguna Barang wajib mengelola dan menatausahan BMN yang berada dalam penguasaannya
dengan sebaik-baiknya. Lalu seperti apakah pengelolaan BMN di Indonesia dan
sejauh apa potensi serta tantangannya serta bagaimana meningkatkan hasil guna
BMN, berikut ulasan mengenai “towards distinguished
asset manager melalui optimalisasi BMN”.
Perkembangan Pengelolaan
BMN di Indonesia
Geliat
Pengelolaan BMN di Indonesia mulai terlihat dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Untuk mengawal Pengelolaan BMN di Indonesia, dibentuklah yaitu Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang merupakan salah satu Unit Eselon I di
Kementerian Keuangan melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006. Arah
pengelolaan kekayaan negara menjadi kendali armada Direktorat Jenderal yang
digawangi oleh Bapak Hadiyanto yang bertindak selaku Direktur Jenderal Kekayaan
Negara pertama. Langkah strategis pertama diwujudkan melalui pelaksanaan
Penertiban BMN yang meliputi inventarisasi, penilaian, dan pemetaan
permasalahan BMN. Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan kualitas
informasi dalam laporan keuangan pemerintah mengingat Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) yang pertama kali disusun mendapatkan opini BPK RI disclaimer.
Perjalanan pengelolaan
kekayaan negara sendiri dirangkum oleh Dr. Lalu Hendry Yujana, S.E., Ak., M.M.,
C.A dalam timeline pengelolaan kekayaan negara berikut ini:
sumber: bahan pengajaran Dr. Lalu Hendry Yujana, S.E., Ak., M.M., C.A , diadaptasi
Tersajinya neraca awal pemerintah pada tahun 2004 merupakan modal awal bagi pemerintah BMN dan tonggak sejarah akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah untuk memulai langkah perbaikan pengelolaan keuangan negara. Beberapa kemajuan dalam era Administrator ditandai dengan adanya penguatan informasi dalam laporan keuangan. Keberhasilan lepas dari opini disclaimer BPK merupakan salah satu bukti nyata keberhasilan era administrator.
Memasuki
asset manager era, penguatan kualitas
laporan keuangan terus dilakukan dan langkah menuju pengelolaan BMN yang
efisien mulai terlihat dengan inisiasi penerapan sistem informasi terintegrasi
dalam satu database yaitu Sistem Informasi Aset Negara (SIMAN). Regulasipun
mulai diperbaiki dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014
menggantikan PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Dr. Lalu Hendry Yujana, S.E., Ak., M.M., C.A menyampaikan bahwa
paradigma tradisional yang hanya berfokus pada penyediaan layanan publik dengan
biaya serendah-rendahnya harus dibawa ke arah pengelolaan kekayaan negara yang
modern yang berorientasi pada:
- Efektifitas penggunaan aset dalam penyediaan layanan publik
- Cost-saving sehingga mengurangi eksposur APBN untuk pembiayaan pembangunan
- Peningkatan PNBP
- Nilai tambah investasi pemerintah dan/atau tingkat leveraging BUMN/BLU
- Peningkatan tata kelola pemerintahan
Paradigma dimaksud merupakan lonjakan dalam pengelolaan BMN
yang berorientasi untuk menjadikan aset mencapai titik maksimal penggunaan
yaitu melalui optimalisasi BMN.
Konsepsi Optimalisasi
BMN
Dalam peraturan Pengelolaan BMN, belum ada definisi terang yang menguraikan istilah “optimalisasi BMN. Beberapa pengertian disampaikan oleh beberapa ahli mengenai maksud dari pendayagunaan (aset) yaitu suatu usaha untuk mendatangkan hasil dan manfaat yang lebih besar dan lebih baik dengan memanfaatkan segala sumber daya dan potensi yang dimiliki (aset tersebut), secara optimal (Yujana, 2019). KBBI menyebutkan bahwa optimalisasi berasal dari kata dasar optimal yang berarti terbaik, tertinggi, paling menguntungkan. Sementara Machfud Sidik menyebutkan bahwa optimalisasi merupakan suatu tindakan/kegiatan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat diambil suatu poin penting bahwa optimalisasi berusaha untuk menjadikan BMN mencapai angka tertinggi yaitu optimal. Konsep optimalisasi BMN sebagai suatu strategi untuk memperoleh nilai guna tertinggi dan terbaik atas BMN dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini:
- Suatu aset diasumsikan mempunyai skor kegunaan sebesar 0 - 100
- Angka 0 s.d. 70 merupakan zona tusi dimana diasumsikan bahwa BMN sedang digunakan dalam menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi instansi
- Angka 71 s.d. 100 merupakan zona optimalisasi dimana PB/KPB melakukan aktivitas pendayagunaan atau optimalisasi agar BMN mampu mencapai sampai nilai maksimal kegunaannya yaitu 100 (optimal).
Pengelolaan BMN Kementerian Keuangan sudah sejauhmana?
Untuk
mengetahui hal dimaksud, diperlukan informasi yang menggambarkan posisi BMN
Kementerian Keuangan, penilaian pihak luar atas kinerja keuangan/aset,
komparasi antar entitas maupun dengan ketentuan tata kelola yang berlaku.
Pada
tahun 2018, Kekayaan negara yang tercermin dalam bentuk BMN, secara nasional nilainya
mencapai 6.409T. Kementerian Keuangan selaku Kementerian/Lembaga (K/L) menyumbang
sekitar 1,72% atau sebesar 110T dan menempati posisi ke 7 K/L dengan jumlah BMN
terbesar. Kinerja pengelolaan BMN diniliai membaik setelah pada tahun 2011
mampu meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (lima tahun lebih cepat dari
pemerintah pusat) setelah sebelumnya aset menjadi salah satu pengganjal
tercapainya opini tertinggi laporan keuangan dengan revaluasi aset pertama kali
dinyatakan belum memadai.
Memasuki era revenue generating, kinerja pengelolaan BMN dalam mengkonversi sejumlah BMN yang dikelola menjadi sebuah penerimaan negara non pajak yang tercermin dalam Return On Asset (ROA), Kemenkeu berhasil berada di posisi ke-2 dalam komparasi ROA 10 K/L dengan nilai BMN terbesar sebagaimana tabel berikut ini:
Melihat
tren dalam tiga periode laporan BMN pada tahun 2016 s.d. 2018, jumlah PNBP
pengelolaan BMN mengalami penurunan, dan baru pada akhir tahun 2019 mulai
terlihat adanya kenaikan dalam pendapatan pengelolaan BMN sebagaimana terlihat
pada grafik dan tabel berikut ini:
Apa yang
harus dilakukan untuk menuju distinquished
asset manager?
Rp110 triliun merupakan jumlah yang cukup besar, untuk itu diperlukan
strategi yang tepat agar BMN mampu didayagunakan secara maksimal sesuai
orientasi pengelolaan kekayaan negara yang modern. Setidaknya ada beberapa
variabel yang dapat dikembangkan untuk mempercepat optimalisasi BMN antara lain
pembenahan sistem informasi, inovasi, kemudahan regulasi, fleksibilitas penggunaan
sumber daya.
1. Pembenahan sistem informasi pengelolaan BMN
Penggunaan
teknologi merupakan keniscayaan, sistem informasi yang digunakan dalam pengelolaan
BMN secara nasional adalah SIMAN. Kehadiran SIMAN diharapkan mampu menerjemahkan
unsur-unsur Pengelolaan BMN kedalam suatu sistem informasi sehingga proses
pengelolaan BMN dapat dilakukan dengan cepat, efisien, dan terdigitalisasi.
Satu
hal yang esensial dan perlu disadari bahwa kondisi saat ini, kelengkapan dan
validitas isian data BMN pada SIMAN merupakan tantangan nyata yang dihadapi. Pengakurasian
data BMN pada SIMAN merupakan hal yang sangat mendasar dan krusial yang harus
dilakukan sebagai mesin penggerak pengelolaan BMN yang terdigitalisasi. Tanpa
basis data yang andal, kualitas informasi yang dihasilkan dan pengambilan
kebijakan akan memberikan risiko negatif pada tata kelola BMN. Awareness ini yang perlu ditanamkan,
dibangun, dan disiapkan sehingga setiap unit yang terkait pengelolaan BMN
merasa punya peran dan tanggung jawab dalam menjaga keakurasian data BMN demi
keberlangsungan pengelolaan BMN yang lebih baik. Langkah urgent yang perlu dilakukan adalah percepatan interkoneksi SIMAN
dengan SAKTI sebagai aplikasi yang membukukan setiap transaksi aset. Hal ini sangat diperlukan agar nilai
pada siman senantiasa update secara otomatis. Selanjutnya, upaya pengakurasian
langsung pada basis data SIMAN yaitu master aset. Dalam prosesnya,
pengakurasian data pada master aset memerlukan guidance agar terdapat keseragaman dalam pengisian informasi BMN.
Dengan dua hal tadi maka akan tercipta basis data BMN yang andal dan tidak ada
lagi mekanisme inefektif dan inefisien dalam upaya penghimpunan data.
2. Inovasi
bentuk optimalisasi BMN melalui e-marketplace
pengelolaan BMN
Pelaksanaan
pengelolaan BMN yang cenderung monoton, kaku, dan klerikal yang selama ini
dilakukan merupakan budaya yang perlu didobrak dan dibenahi agar BMN tidak lagi
menjadi beban namun mampu hidup dan dikonversi menjadi sesuatu yang memberikan
manfaat sebagaimana fungsi suatu aset.
Salah
satu bentuk inovasi pengelolaan BMN dalam upaya optimalisasi BMN adalah Pembangunan
e-marketplace pengelolaan BMN.
Hadirnya KMK
Nomor 855/2018 tentang Perencanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan
dan Penghapusan BMN merupakan bentuk inovasi yang luar biasa dari Kementerian
Keuangan untuk menghimpun dan memetakan profil potensi BMN yang akan diusulkan
untuk dilakukan pengelolaan BMN pada periode mendatang. Inovasi ini pun
didukung dengan sistem informasi yang dibangun secara swadaya dengan
memanfaatan sinergi pertukaran data (SLDK) dengan aplikasi SIMAN.
Inovasi
senatiasa harus selalu dilakukan, sedikit berinovasi atas inovasi yang sudah
dilakukan, e-marketplace pengelolaan BMN adalah suatu wadah untuk mempertemukan
supply dan demand atas suatu aset negara atau BMN. Supply merupakan potensi BMN yang akan dilakukan optimalisasi BMN misalnya
bentuk pemanfaatan BMN seperti Sewa, KSP, BGS/BSG dan KSPI. Demand merupakan pasar yang akan menjadi
calon mitra yang akan memanfaatkan aset negara ataupun subjek yang akan
menggunakan BMN. Pertemuan supply dan demand dalam wadah e-marketplace
pengelolaan BMN akan mendorong partisipasi pelaku pasar dalam pemenuhan
kebutuhan masing-masing pihak pengelolaan BMN. Diharapkan, mekanisme pasar akan
terbentuk dan berjalan kompetitif sehingga akan mendorong pergeseran supply dan
demand ke arah positif yang dapat mendorong penerimaan negara non pajak dari
sektor pengelolaan BMN.
3. Penggunaan
identifikasi melalui adaptasi analisis highest and
best use aset
Highest and Best Use Analysis (analisis HBU) merupakan
konsep yang sangat familiar dalam manajemen properti. Penggunaan analisis HBU bagi pemilik aset (tanah)
dimaksudkan untuk menentukan alternatif pengembangan terbaik atas tanah yang
dimiliki sehingga memberikan tingkat keuntungan maksimal. Konsepsi ini yang
belum begitu familiar diterapkan dalam pengelolaan BMN yang selama ini
dilaksanakan. Melalui pendekatan analisis HBU, akan sangat relevan dengan
semangat era revenue generating.
Dengan diketahuinya potensi penggunaan tertinggi dan terbaik atas suatu lahan,
dapat diketahui potensi penerimaan yang akan dapat diterima. Selanjutnya
adaptasi terhadap analisis HBU dilakukan terhadap kemungkinan skenario
pengelolaan dapat dijalankan untuk optimalisasi atas lahan tersebut. Bentuk analisis bisnis semacam ini perlu
digali dan dikembangkan lagi untuk mendukung era revenue generating. Kedepan disiplin ilmu penilaian dan studi
kelayakan bisnis menjadi modal besar yang wajib dikuasai setiap SDM yang
bergelut dalam tata kelola aset.
4. Relaksasi
aturan pengelolaan BMN
Kencangnya
laju teknologi dalam era revolusi industri 4.0 tidak bisa dipungkiri sangat
mempengaruhi proses bisnis dalam tata kepemerintahan termasuk pengelolaan BMN. Ledakan
inovasi yang semakin kreatif bergerak lebih cepat dibandingkan fleksibilitas aturan-aturan
yang telah ditetapkan. Perlu adanya relaksasi aturan sehingga inovasi yang
melaju kencang tidak keluar jalur yang justru memberikan dampak yang kontra
produktif.
Dalam
era revenue generating, paradigma
pengelolaan BMN menekannya upaya optimalisasi BMN dalam mendorong penggunaan
BMN agar memberikan manfaat ekonomis. Untuk itu, pengelolaan BMN yang
“milenials” sebagaimana pesan Ibu Menteri Keuangan merupakan salah satu
konsepsi pengelolaan BMN yang diwujudkan dalam bentuk inovasi kreatif untuk
mendukung pertumbuhan penerimaan negara dari sektor pengelolaan negara.
Bentuk
relaksasi aturan yang dapat membuat pengelolaan BMN semakin bergairah antara
lain kemudahan dalam melakukan usulan pengelolaan BMN seperti pengajuan usulan
sewa tanpa adanya calon penyewa, penetapan standar tarif, pelimpahan kewenangan.
Relaksasi
aturan pengelolaan BMN merupakan bentuk intervensi pemerintah yang akan
merangsang pasar (demand dan supply) untuk tumbuh dan berkembang sehingga
memicu pergeseran kurva supply dan demand ke arah positif.
5. Unit
Pengelola BMN di tingkat Pengguna
Fleksibilitas
adalah keyword dalam pengembangan
optimalisasi BMN yang menuntut hadirnya berbagai macam inovasi. Kemudahan
penggunaan anggaran, mobilisasi sumber daya, pengembangan sistem informasi dan
relaksasi aturan sangat mungkin dilakukan dalam sistem yang menganut
fleksibilitas dalam menggerakkan seluruh perangkatnya. LMAN, Lembaga Manajemen
Aset Negara, merupakan merupakan satu-satunya lembaga pengelola aset negara
yang berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) di tingkat nasional. Dalam artikel
berjudul Antara LMAN, DJKN dan Kemenkeu yang ditulis oleh Risman, S.H., M.Ak., LMAN
yang dibentuk pada tahun 2015 mempunyai tugas untuk mendongkrak kinerja
instansi induknya dalam melakukan pengelolaan BMN.
Dengan
tingginya angka BMN pada Kementerian Keuangan dan persebarannya di seluruh
bagian di Indonesia menjadi salah satu modal untuk dapat dikembangkan secara
lebih produktif dan efisien. Institusi berbentuk BLU dapat dijajaki
eksistensinya pada lingkup kementerian mengingat fleksibilitasnya dalam menggunakan
resource yang dimiliki sehingga mampu
mengkonversinya menjadi sebuah layanan yang produktif.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2018 tentang PNBP memberikan ruang yang lebar dalam
melakukan ekstensifkasi bentuk penerimaan negara non pajak. Dikotomi PNBP
fungsional dan umum yang dulu sering menjadi perdebatan telah berdamai dan
menyatu dalam payung UU ini. Hadirnya UU Nomor 9 tahun 2018 tersebut menegaskan
bahwa penerimaan negara perlu digalakkan dan digali lagi agar mampu menopang
penerimaan negara yang selama ini mengandalkan sektor perpajakan. UU ini
mengatur pembentukan Instansi Pengelola PNBP pada Kementerian/Lembaga dipimpin
oleh Menteri/Pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang.
Melalui upaya pengembangan dimaksud, diharapkan dapat menjadi pemicu BMN mencapai titik optimal
yang memberikan value added terutama peningkatan penerimaan negara.
Komentar
Posting Komentar